Kamis, 02 April 2015

Prestasi Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) di Indonesia




          Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) sudah lama dikembangkan di Indonesia, tetapi prestasi-nya masih beragam antar lokasi. Skor atau nilai aspek teknis masih rendah yang berarti mereka masih memerlukan pembinaan keterampilan dalam mengelola alsintannya di lapangan (lihat Tabel). Skor paing rendah adalah aspek penunjang yang meliputi antara lain aspek legalitas kelompok UPJA yang umumnya belum resmi sebagai badan hukum. Hal ini berdampak kepada sulitnya mereka berhubungan dengan pihak perbankan, misalnya untuk memperoleh kredit usaha.

   
            Sumber : Direktorat Pengembangan Alsintan Departemen Pertanian, 2004



          Jumlah UPJA di seluruh Indonesia adalah sekitar 12.468 kelompok dan sebagian besar adalah kelompok UPJA pemula yang berjumlah 9.875 atau sekitar 79 % (lihat Tabel). Kondisi ini mungkin disebabkan adanya kebijakan adanya bantuan-bantuan hibah alsintan ke petani atau kelompok tani yang biasanya ditujukan kepada UPJA. Agar dapat memperoleh bantuan, tidak sedikit masyarakat yang mendadak membentuk UPJA semata-mata agar dapat memperoleh bantuan tersebut. Oleh karena itu akan sangat baik jika kebijakan seperti dikaji ulang agar UPJA lebih mandiri tanpa harus menyurutkan semangat petani dalam mengembangkan mekanisasi pertanian di Indonesia.



          Sumber : Direktorat Alsintan Kementan, 2014


Kamis, 05 Maret 2015

laboratorium lapang BBN


Rabu, 16 Januari 2013


... Indonesia is as Middle East Biomass Source ...

... Indonesia seperti Timur Tengahnya Biomasa ...

Rabu, 17 Agustus 2011

BLOG AKAN COBA DIISI LAGI DENGAN TULISAN BARU

para pembaca tercinta :

1. karena beberapa hal, lama sekali blog ini tidak diperbarui
2. dalam waktu dekat akan kami coba mulai isi dengan pengalaman saya tentang
riset mekanisasi maupun bioenergi
3. wassalam, Bambang Prastowo

Senin, 22 Maret 2010

BIOFUEL GENERASI KEDUA DI INDONESIA

BIOFUEL GENERASI KEDUA DARI LIMBAH BIOMASA PERTANIAN MERUPAKAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN DI MASA DEPAN

Komoditas pertanian penghasil bahan bakar nabati (BBN) cukup banyak, seperti tebu, ubikayu, kelapa, kelapa sawit, jarak pagar, sagu dll. Mereka umumnya diolah hasil pokoknya ( nira, CPO, tepung dll) untuk menjadi bioetanol maupun biodiesel. Sebenarnya selain hasil pokoknya tersebut, masih terdapat limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, yang berupa padatan sisa seperti kayu batang, bagas, tandan kosong kelapa sawit, batok kelapa dll. Limbah seperti ini juga banyak diperoleh dari tanaman perkebunan lainnya seperti kayu karet, ranting-ranting kayu dll. Masyarakat sebenarnya sudah banyak yang mengetahui mengenai manfaat tersebut, bahkan tidak sedikit yang sudah mempraktekkannya untuk keperluan rumah tangga, dengan cara membakarnya. Pembakaran limbah padat tersebut memang merupakan teknologi yang sudah lama dipraktekkan di dunia. Masalahnya, teknologi ini dapat mencemari lingkungan karena asapnya maupun menyebabkan pemanasan udara, yang dikritik para ahli lingkungan. Selain itu, pembakaran padatan limbah kayu seperti ini untuk memasak menghasilkan efisiensi penggunaan energi yang sangat rendah, yaitu hanya bisa mencapai efsiensi sekitar di bawah 10 %.
Teknologi pemanfaatan biomasa limbah padat seperti ini di beberapa agroindustri sudah dimanfaatkan, juga dengan cara membakar, tetapi dilakukan di dalam tungku khusus, dan apinya digunakan untuk memanaskan udara yang kemudian dialirkan ke dalam sistem pemindah panas. Sistem ini banyak digunakan dalam pengomprongan tembakau, untuk pengeringan kopi dan kakao dalam sistem pengolahan terpusat, dan dengan tungku khusus sekam untuk pengeringann gabah. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kajian terhadap tanaman penghasil BBN tidak harus hanya memenfaatkan hasil pokoknya saja, tetapi mencari tanaman yang juga menghasilkan limbah padat cukup banyak. Hasil perhitungan “desk study” berdasarkan beberapa sumber menunjukkan bahwa potensi biomasa pertanian di Indonesia cukup banyak. Pada tahun 2007 potensinya sekitar 441,1 juta Gjoule per tahun dari limbah saja, yaitu dari kelapa sawit, karet, padi, dan tebu. Studi dari Jerman pada 2000 dengan memasukkan jagung, limbah kayu kehutanan dan lainnya menghitung sekitar 470 juta GJoule per tahun. Penulis hitung kembali berdasarkan data terakhir (2007) tanpa memasukkan jagung dan limbah dari kehutanan, potensinya sekitar 441,1 juta Gjoule per tahun. Jika diteruskan perhitungannya, potensi tersebut sama dengan sekitar 18 juta Mwatt. Untuk membandingkan angka tersebut, dapat disimak bahwa untuk keperluan masak rumah tangga pedesaan er hari memerlukan sekitar 17,7 Mjoule/orang/hari. Untuk instalasi sumber tenaga listrik maupun agroindustri sedang besar, pemanfaatan biomasa limbah padat ini biasanya dilakukan dengan cara membakarnya dalam sistem turbin uap, dan uapnya digunakan untuk menggerakkan turbin pengahsil listrik.
Teknologi yang saat ini mulai ndikembangkan di dunia adalah yang disebut dengan teknologi generasi kedua dalam pembuatan biofuel. Semua biomasa yang mengandung lignoselulosa dapat diproses secara termokimia menghasilkan cairan bahan bakar nabati (bioetanol ataupun biodiesel, biofuel to liquid atau BTL)). Biodiesel generasi kedua dibuat dari bahan lignoselulosa dengan perpaduan teknologi gasifikasi dan sintesis Fischer-Tropsch. Pabrik BTL pertama di dunia baru saja diresmikan di Freiberg Jerman 2008 dan mulai beroperasi tanggal 18 April 2008. Di Indonesia BPPT dan Pertamina sudah mulai mencoba risetnya beberapa waktu yang lalu. Teknologi ini diunggulkan memanfaatkan segala biomasa yang mengandung lignoselulosa, sehingga tidak banyak terpengaruh dengan produktivitas tanaman dalam menghasilkan produk pokoknya, sehingga tidak banyak tergantung dengan luas dan produktivitas lahan dan tidak akan mengganggu lingkungan. Selain itu, kita dapat memanfaatkan bahan tanaman non pangan, sehingga tidak mengganggu dan bersaing dengan kebutuhan pangan. Untuk kondisi Indonesia secara umum, riset bisa mulai diarahkan kepada tanaman yang dapat menghasilkan bukan hanya hasil pokoknya yang tinggi, tetapi juga yang dapat menghasilkan biomasa banyak. (Sebagian besar dari naskah judul tulisan ini sudaah dimuat di InfoTek Perkebunan di Bogor).

Potensi Energi Biomasa di Indonesia

Limbah biomasa pertanian dan perkebunan seperti tandan kosong kelapa sawit memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi yang dapat didegradasi menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu glukosa sebagai bahan baku bioetanol. Oleh karena itu, limbah perkebunan terutama tandan kelapa sawit dapat menjadi sumber energi alternaitf, baik diproses menjadi cairan bioetanol maupun proses gasifikasi menajdi gas. Teknologi biofuel generasi baru yang banyak dibahas di dunia saat ini adalah dengan mengembangkan proses konversi-bio menjadi bioetanol dan konversi-termal untuk menghasilkan gas. Yang terakhir ini sebenarnya dapat juga selanjutnya diproses menjadi biodiesel ataupun bioavtur dan sejenisnya. Teknologi ini di dunia dikenal sebagai teknologi biofuel generasi kedua dan sedang banyak dikembangkan bergagai negara. Teknologi ini cukup ramah lingkungan dan tidak mengganggu kebutuhan pangan, karena hanya memanfaatkan limbah biomasa seperti tandan kosong kelapa sawit, jerami, tongkol jagung, dan semacamnya, tanpa mengganggu hasil utama pertanian misalnya gabah, minyak sawit, biji jagung dll). Potensi limbah biomasa hanya dari pertanian sendiri adalah sekitar 441 juta G Joule per tahun atau setara dengan sekitar 18 Juta MWatt. Kementerian ESDM menghitung, seluruh biomasa di Indonesia potensinya sekitar 49 juta MWatt. Semoga potensi ini dapat kita kelola dengan baik, tidak meniru pengalaman pahit potensi gas alam kita.